Cerita Fiksi & Jawaban Uraian
Stranger ?
Anna adalah seorang arsitek muda yang baru saja menyelesaikan s2 nya, kala itu ada seorang ibu ibu yang memakai jasanya untuk merenovasi rumahnya. Anna memang di kenal dengan hasil pekerjaannya yang luar biasa, rumah rumah yang sudah ia design selalu indah.
Saat itu Anna menemui clientnya, client tersebut bernama ibu lucy ia meminta agar beberapa bagian dari rumahnya tidak ikut di renovasi lucy meminta karena beberapa bagian merupakan kenangan satu satunya dengan seseorang yang special bagi hidupnya. Sambil mereka berkeliling rumah lucy bercerita alasan mengapa lucy tidak ingin rumahnya di renovasi sepenuhnya
beberapa tahun lalu, lucy mempunyai teman bernama prabu. Prabu merupakan anak dari pembantu nya mereka selalu bersama sama, dimana ada lucy pasti prabu akan ada begitupun sebaliknya, mereka selalu bermain dari pagi sampai malam.
Lucy merupakan anak dari seorang pengusaha ia adalah anak terakhir 2 kakaknya sangat pintar berbeda dengannya, kakak pertama bernama araine dan kakak kedua bernama sinta. setiap malam mereka selalu mempunyai jadwal belajar tak hanya berdua tapi lucy pun ikut belajar juga. Namun lucy tidak senang belajar ia lebih memilih bermain bersama prabu daripada harus belajar bersama kedua kakaknya
Araine : "Lucy sudah waktu nya belajar, sudah 2 hari kamu tidak belajar bersama, jika papa pulang dan tau kamu sudah tidak belajar bersama kami kamu akan mendapat hukuman. Terlebih jika nilai kamu jelek"
Lucy : "gamau kak, aku sudah berjanji dengan prabu untuk bermain bersama hari ini !"
Sinta : "kami sudah mengingatkan kamu dari kemarin, jika papa tau kamu tidak akan membantu mu.
Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak anaknya, sama seperti Ayah Lucy terlihat beliau sangat tegas namun di balik ketegasannya ia ingin anaknya sukses di masa depan. Ayahnya memang sedikit egois ia mengingkan semua anak nya bisa masuk ke dunia kedokteran maka dari itu ia selalu ingin anaknya mendapat nilai yang terbaik di sekolah.
Kembali lagi dengan cerita Lucy dan Prabu, mereka tetap bermain di sore itu. Di halaman belakang rumah keluarga Lucy yang megah, tawa mereka menggema. Meski berasal dari dunia yang berbeda, Lucy anak pengusaha besar, dan Prabu hanya anak pembantu, namun tak ada sekat di antara mereka.
“Aku mau jadi dokter,” kata Lucy sambil memetik bunga kamboja yang jatuh dari pohon.
Prabu menoleh, matanya berbinar. “Kenapa dokter?”
“Karena aku pengin bantu orang. Dan… aku juga pengin bikin papa bangga.”
Prabu mengangguk. “Kalau aku… mungkin nggak akan sekolah tinggi-tinggi. Tapi aku pengin punya rumah kecil yang tenang. Yang ada taman, dan ayunan… kayak di sini.”
Lucy tertawa. “Kalau nanti aku jadi dokter, kamu harus jadi pasien pertamaku, ya.”
Namun semua berubah. Hari itu, ayah Lucy pulang dari luar kota dan menemukan nilai-nilai Lucy turun drastis. Ia marah besar, dan tahu bahwa Lucy sering kabur belajar hanya untuk bermain dengan Prabu.
“Mulai besok, kamu tidak boleh dekat-dekat dengan anak itu lagi!” bentak ayah Lucy. “Kamu harus fokus! Kamu pikir aku bayar sekolah mahal buat apa?”
Lucy mencoba membela, namun sia-sia. Dan keputusan paling kejam pun diambil: Prabu dan ibunya dipecat. Dalam satu malam, sahabat kecilnya itu pergi.
Lucy berteriak di halaman. “Prabu! Jangan pergi! Aku janji akan belajar lebih giat! Aku akan jadi dokter!”
Namun Prabu hanya menoleh dari belakang mobil tua yang membawa dia dan ibunya pergi. Ia tersenyum kecil, matanya basah. “Jangan lupa jadi dokter terbaik ya, Lucy…” Lalu menghilang di balik gerbang besar.
Hari demi hari berlalu, dan Lucy berubah. Ia belajar mati-matian, mengejar impiannya menjadi dokter. Ia berhasil. Ia bahkan diterima di universitas terbaik. Namun hatinya tidak lagi utuh.
Puluhan tahun kemudian…
Anna, sang arsitek muda, menatap Ibu Lucy yang kini renta, namun tetap terlihat elegan. Mereka berdiri di ruang tamu rumah tua bergaya kolonial, sebagian besar dindingnya mulai usang.
“Bagian belakang jangan diubah ya, termasuk taman dan ayunan itu,” kata Lucy lirih.
Anna mengangguk, lalu bertanya, “Itu tempat spesial ya, Bu?”
Lucy tersenyum, tapi matanya basah. “Dulu… ada seseorang yang paling aku sayangi. Namanya Prabu. Dia bukan siapa-siapa, tapi dia sahabatku. Dialah satu-satunya orang yang membuat masa kecilku terasa utuh.”
Anna mengikuti Lucy berjalan ke halaman belakang. Ada taman kecil, dengan pohon kamboja tua dan ayunan kayu yang sudah berkarat. Di bawah pohon itu, ada batu nisan kecil yang tak terawat. Anna tertegun.
“Dia kembali, bertahun-tahun lalu. Saat aku kuliah di luar negeri. Dia sakit keras, tak punya siapa-siapa. Dan… dia meninggal di sini. Di bawah pohon ini. Penjaga rumah bilang… dia hanya ingin melihat taman ini sekali lagi.”
Lucy terisak. “Aku berhasil jadi dokter… Tapi aku kehilangan sahabatku. Dia satu-satunya orang yang percaya padaku… bahkan ketika aku sendiri mulai ragu.”
Anna menunduk. Udara terasa sunyi. Hujan turun perlahan, membasahi nisan itu, seolah langit pun ikut menangis.
Dan di bawah pohon tua yang diam itu, kenangan akan seorang anak kecil bernama Prabu tetap hidup—bersama janji yang tak pernah sempat ditepati.
JAWABAN URAIAN
1. Jelaskan proses yang kamu lakukan dalam menyusun karya fiksi tersebut!
Proses penyusunan cerpen ini dimulai dari menentukan ide utama, yaitu kisah persahabatan masa kecil antara dua anak dari latar belakang sosial yang berbeda. Saya ingin membuat cerita yang sederhana tapi punya muatan emosional kuat, dan akhirnya saya memilih tokoh Lucy dan Prabu.
Lalu saya membuat kerangka cerita: bagian awal berisi pertemuan Lucy dan Anna, lalu mundur ke masa lalu menceritakan hubungan Lucy dan Prabu, dilanjutkan konflik dengan orang tua Lucy, dan ditutup dengan perpisahan serta penyesalan Lucy di masa tua. Setelah itu, saya mulai menulis narasi berdasarkan kerangka tersebut, memperkuat emosi dan menekankan suasana nostalgia serta kehilangan.
Jika cerita ini ingin dipublikasikan, saya akan mengunggahnya ke blog atau platform menulis seperti Wattpad agar bisa dibaca lebih banyak orang.
⸻
2. Apa tantangan yang kamu hadapi saat menulis cerita fiksimu? Bagaimana kamu mengatasinya?
Tantangan utamanya adalah menyampaikan emosi sedih secara halus, tanpa membuat cerita terasa berlebihan atau klise. Saya juga harus menjaga agar cerita tetap fokus pada tokoh utama, tanpa terlalu banyak detail yang membuat cerita melebar.
Untuk mengatasi hal ini, saya menulis sambil membayangkan adegannya seperti film—membayangkan ekspresi wajah Lucy, suara hujan, dan suasana di halaman rumah. Hal itu membantu saya menulis dengan lebih peka dan emosional.
⸻
3. Mengapa kamu memilih tema cerita yang kamu angkat dalam tulisanmu?
Saya memilih tema kenangan masa kecil, perbedaan kelas sosial, dan penyesalan karena tema ini dekat dengan kehidupan banyak orang dan mudah menyentuh perasaan pembaca.
Cerita tentang seseorang yang kehilangan orang penting di masa lalunya selalu punya kekuatan emosional. Saya ingin menunjukkan bahwa tidak semua hal bisa diperbaiki ketika waktu sudah berlalu, dan bahwa hubungan manusia jauh lebih penting daripada ambisi semata.
⸻
4. Apa pesan moral atau nilai yang ingin kamu sampaikan melalui cerita tersebut?
Pesan moral dari cerita ini adalah:
• Hargai orang-orang yang ada di sekitarmu sebelum semuanya terlambat.
• Jangan biarkan ambisi atau tekanan dari luar membuatmu kehilangan hal yang paling tulus dalam hidup.
• Kadang, yang sederhana justru paling bermakna, seperti persahabatan Lucy dan Prabu.
Saya juga ingin menyampaikan bahwa penyesalan selalu datang terlambat, dan itulah mengapa kita perlu lebih peka dan berani mengambil sikap saat masih ada waktu.
⸻
5. Bagaimana pendapatmu tentang mempublikasikan karya tulis di blog? Apa manfaat yang kamu rasakan?
Saya sangat mendukung mempublikasikan karya tulis di blog. Selain sebagai tempat menyalurkan hobi, blog bisa menjadi arsip pribadi sekaligus portofolio digital yang bisa dibaca siapa pun.
Manfaatnya, saya bisa mendapat masukan dari pembaca, melihat perkembangan tulisan dari waktu ke waktu, serta membangun komunitas sesama penulis. Blog juga memberi kebebasan dalam menulis dan berekspresi, tanpa batasan dari pihak luar.
Comments
Post a Comment